Hey guys gue mau cerita tentang kekaguman gue sama negara Swiss atau bisa disebut dengan Switzerland. Gue bener bener makin kagum setelah gue liat blog yang di buat oleh Djoko Susilo yang mengetahui banyak tentang negara Swiss. Awalnya gue suka banget sama negara Swiss karna pendidikan disana, dan gue bener bener mencita citakan buat kuliah di Swiss. Betapa kerennya negara Swiss. Oke sekarang gue bakal ngasih tau apa yang di karang oleh Djoko Susilo tentang SWISS UANG DAN BANK :
Hampir bisa dipastikan, jika kita membicarakan Negara Switzerland, tidak akan lepas dari uang dan bank. Swiss identik dengan uang dan bank. Swiss juga identik dengan tempat orang kaya menyimpan hartanya, baik yang diperoleh melalui jalan halal maupun haram. Pendek kata, hidup di Swiss akan banyak berurusan dengan uang dan bank. Ini pula yang dianggap sebagai kunci kemakmuran Swiss. Tidak salah meski tidak seluruhnya tepat.
Tampaknya, yang harus dikaji ialah bagaimana orang Swiss memanfaatkan atau menggunakan uang. Khususnya, jika dibandingkan dengan negara tetangga di Eropa lainnya yang sekarang mengalami krisis moneter berat seperti di Yunani, Irlandia, Portugal, Spanyol, dan beberapa waktu lalu, Eslandia. Jika dibandingkan dengan negara-negara tersebut, baik pemerintah maupun warganya, orang Swiss mempunyai sikap disiplin yang jauh lebih baik dalam mengelola keuangan. Intinya, warga Swiss memandang uang sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan, bukan sebagai tujuan. Dengan kata lain, uang tetap hanya sebagai alat pembayaran dan karenanya harus digunakan dengan sebaik-baiknya.
Dalam kehidupan sehari-hari, dengan mudah saya saksikan jika saya sedang berbelanja. Pertama, berbeda dengan Amerika Serikat, Italia, Prancis, atau bahkan di negara kita Indonesia, sangat sulit menemukan mal di Swiss. Di ibu kota Bern, hanya ada satu tempat yang layak disebut mal sebagaimana di Indonesia ialah West Side Shopping Mall. Tidak ada mal, bukan berarti orang Swss tidak bisa berbelanja. Mereka berbelanja, tetapi terhadap deretan toko di sepanjang jalan tertentu, mirip kawasan Tunjungan sebelum berkembangnya Tunjungan Plaza. Bahkan, pada hari-hari tertentu, petani sayur, buah, dan sebagainya diizinkan membuka lapak untuk menjual hasil pertaniannya secara langsung. Pemkot Bern melindungi kegiatan pasar terbuka yang diikuti ratusan petani tersebut.
Kedua, orang Swiss tidak suka berutang untuk membeli barang. Meski memiliki credit card, orang Swiss hanya menggunakannya untuk hal-hal yang sistemnya memang harus menggunakan kartu itu. Misalnya, memesan kamar hotel, memesan tiket pesawat, dan sebagainya. Tetapi, untuk belanja sehari-hari, mereka akan menggunakan uang cash atau debit card.
Saking seringnya transaksi dengan cash dalam jumlah besar, mata uang Swiss, yakni Swiss franc (CHF), mempunyai pecahan nominal sampai 1.000 CHF yang nilainya lebih dari Rp 10 juta. Di Amerika Serikat, jika kita membayar dengan uang pecahan 100 USD saja, sudah mengundang kecurigaan apakah uang tersebut palsu atau tidak. Di Swiss, kasir di toko-toko biasa saja menerima uang pecahan 1.000 CHF. Jika di Amerika Serikat banyak ditemukan promosi: Buy now. You pay 6 months: later. Promosi tersebut tidak akan laku di Swiss. Mereka berprinsip, kalau tidak punya uang, ya tidak belanja. Oleh karena itu, tingkat saving (tabungan) warga Swiss sangat tinggi.
Orang Swiss tidak suka menjadi bangsa pengutang seperti negara-negara tetangganya. Mereka tahu konsekuensi besar pasak daripada tiang, besar belanja daripada pendapatan. Contoh nyata sekarang dialami warga Yunani, Italia, Portugal, Irlandia, Eslandia, dan beberapa kawasan Euro lainnya yang sedang mengalami krisis moneter.
Seorang kenalan saya, Hans Gimmi, yang bekerja sebagai presiden direktur sebuah bank pernah ”ngrasani’’ tetangganya negara-negara Eropa di kawasan Mediterania, seperti Yunani atau Italia yang lebih suka berpesta daripada bekerja. ”Mereka senang berpesta, tetapi tidak bekerja keras. Menabung pun enggan. Hasilnya kita lihat nyata, mereka mengalami krisis ekonomi yang berat,’’ kata Hans beberapa waktu lalu.
Singkatnya, orang Swiss suka bekerja keras, hemat, tidak suka berutang, dan lebih suka membeli barang produksi bangsa sendiri daripada barang impor. Kalaupun terpaksa beli impor, hal itu disebabkan barang yang dibutuhkan tidak bisa diproduksi di negaranya. Misalnya, udang. Iklim di Swiss tidak cocok untuk mengembangkan udang. Jadi, mereka beli dari Vietnam, Thailand, dan negara lainnya. Atau bisa saja mereka membeli bahan mentah yang lalu diolah menjadi produk yang jauh lebih mahal.
Contoh nyata kopi dan biji cokelat. Dua komoditas itu tidak bisa tumbuh di Swiss yang dingin. Maka, mereka membeli dari Indonesia dalam bentuk bahan mentah. Lalu, biji kopi dan cokelat tersebut mereka olah menjadi produk akhir seperti Nescafe, Nespresso untuk kopi serta Kit Kat, Lindt, Marche, Toblerone, dan lain-lain merek produk cokelat yang harganya jauh lebih mahal.
Selain sangat hemat, kerja keras, dan produktif, orang Swiss tidak suka pamer kekayaan. Meski kaya raya, sangat sulit menemukan perbedaan gaya hidup yang mencolok di Swiss. Di Amerika Serikat, kelompok superkaya seperti Bill Gates, Warren Buffet, George Soros, dan sebagainya umumnya akan tinggal di mansion atau rumah mewah yang sangat luas lengkap dengan ranch dan landasan helikopter. Perbedaan itu tidak saya temukan di Swiss.
Bahkan, tahun lalu ketika menyertai kunjungan Presiden Swiss Doris Leuthard ke Surabaya, saya satu pesawat dengan para eksekutif top perusahaan Swiss yang rela berimpitan di kelas ekonomi pesawat Garuda dari Jakarta ke Juanda. Padahal, para bos itu secara pribadi bisa membeli pesawat jet pribadi. Tetapi, ke mana- mana tetap biasa saja naik pesawat komersial, bahkan tidak mempermasalahkan di kelas ekonomi.
Kalaupun orang-orang kaya itu menikmati kekayaannya, itu hanya bisa dilihat dari mobil yang dikendarainya. Misalnya, naik Mercy, BMW, Ferrari, Maserati, dan sebagainya. Tetapi, itu juga tidak terlalu mencolok karena yang naik Mercy, BMW, atau Ferari di Swiss sangat banyak. Jadi, wajar saja, tidak menjadi kecemburuan sosial.
Konsep pemerataan dan keadilan sosial di Swiss tidak dilakukan dengan menjadikan semua orang mempunyai atau memakai barang yang sama seperti dulu di negara-negara komunis. Konsep adil di sini ialah baik orang kaya maupun miskin bisa menikmati fasilitas sama yang disediakan negara. Dengan kata lain, jika orang kaya bisa nyaman bepergian dengan BMW, orang biasa bisa tetap nyaman dengan naik KA atau bus umum. Begitu juga jika jatuh sakit, pelayanan untuk si miskin dan kaya sama saja. Yang membedakan biasanya kamarnya saja. Misal, orang kaya bisa menyewa kamar private sendirian, sedangkan warga biasa bisa berbagi satu kamar berdua atau bertiga. Tetapi, kualitas dokter, perawat, obat, dan lainnya sama saja. Pelayanan itu juga berlaku untuk orang asing, termasuk kepada saya atau staf saya, ketika mereka harus mengalami rawat inap di rumah sakit.
Menurut kawan-kawan saya yang asli Swiss, mengapa mereka bisa membangun sistem yang cukup egaliter itu? Salah satu kuncinya ternyata ialah membangun trust atau kepercayaan. Sejak kecil, seorang warga Swiss sudah diajari kesadaran bahwa seseorang itu bagian dari masyarakat yang luas.
Semua orang harus menyumbang kepada masyarakat sesuai dengan kemampuannya. Setiap orang harus percaya dan dipercaya oleh orang lain. Basis dari semua sistem itu ialah gemeinde atau kelurahan. Jika seseorang sudah kehilangan kepercayaan di tingkat kelurahan, jangan harap dia akan diterima oleh masyarakat di tempat lain. Itu sebabnya, kriminalitas di Swiss juga rendah. Sebab, di sini berlaku peribahasa: Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya. Artinya, sekali Anda berbuat salah, Anda akan masuk daftar hitam masyarakat sampai Anda benar-benar bertobat.
Rendahnya kriminalitas di Swiss itu menarik sosiolog Amerika Serikat bernama Marshall B. Clinard yang menulis buku: Cities with Litlle Crime: The case of Switzerland. Kalaupun ada copet atau pencurian, hampir bisa dipastikan mayoritas pelakunya adalah non-Swiss. Polisi Swiss benar-benar menganggur karena jarang terjadi curas, curat, atau aneka kejahatan lainnya. Paling banter, polisi Swiss menangani pelanggaran lalu lintas yang masih terjadi di jalan tol, umumnya karena ngebut.
Salah seorang kawan Indonesia sambil bergurau mengatakan, salah satu impiannya ialah bekerja di Swiss sebagai polisi: gaji besar, fasilitas lengkap, tetapi tidak banyak pekerjaannya. Hal itu pun terkait dengan kami. Biasanya, setiap KBRI atau wisma Indonesia dilengkapi sistem keamanan canggih dan lengkap, dan bahkan di sebuah negara Afrika ditambah anjing herder sebagai bagian dari pengamanan. Tetapi, di Swiss tidak perlu CCTV, penjaga, apalagi anjing. Semua aman saja. Swiss memang sebuah negara kecil, tetapi aman, makmur, dan sejahtera. Semoga kita bisa menirunya. (*)
Tampaknya, yang harus dikaji ialah bagaimana orang Swiss memanfaatkan atau menggunakan uang. Khususnya, jika dibandingkan dengan negara tetangga di Eropa lainnya yang sekarang mengalami krisis moneter berat seperti di Yunani, Irlandia, Portugal, Spanyol, dan beberapa waktu lalu, Eslandia. Jika dibandingkan dengan negara-negara tersebut, baik pemerintah maupun warganya, orang Swiss mempunyai sikap disiplin yang jauh lebih baik dalam mengelola keuangan. Intinya, warga Swiss memandang uang sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan, bukan sebagai tujuan. Dengan kata lain, uang tetap hanya sebagai alat pembayaran dan karenanya harus digunakan dengan sebaik-baiknya.
Dalam kehidupan sehari-hari, dengan mudah saya saksikan jika saya sedang berbelanja. Pertama, berbeda dengan Amerika Serikat, Italia, Prancis, atau bahkan di negara kita Indonesia, sangat sulit menemukan mal di Swiss. Di ibu kota Bern, hanya ada satu tempat yang layak disebut mal sebagaimana di Indonesia ialah West Side Shopping Mall. Tidak ada mal, bukan berarti orang Swss tidak bisa berbelanja. Mereka berbelanja, tetapi terhadap deretan toko di sepanjang jalan tertentu, mirip kawasan Tunjungan sebelum berkembangnya Tunjungan Plaza. Bahkan, pada hari-hari tertentu, petani sayur, buah, dan sebagainya diizinkan membuka lapak untuk menjual hasil pertaniannya secara langsung. Pemkot Bern melindungi kegiatan pasar terbuka yang diikuti ratusan petani tersebut.
Kedua, orang Swiss tidak suka berutang untuk membeli barang. Meski memiliki credit card, orang Swiss hanya menggunakannya untuk hal-hal yang sistemnya memang harus menggunakan kartu itu. Misalnya, memesan kamar hotel, memesan tiket pesawat, dan sebagainya. Tetapi, untuk belanja sehari-hari, mereka akan menggunakan uang cash atau debit card.
Saking seringnya transaksi dengan cash dalam jumlah besar, mata uang Swiss, yakni Swiss franc (CHF), mempunyai pecahan nominal sampai 1.000 CHF yang nilainya lebih dari Rp 10 juta. Di Amerika Serikat, jika kita membayar dengan uang pecahan 100 USD saja, sudah mengundang kecurigaan apakah uang tersebut palsu atau tidak. Di Swiss, kasir di toko-toko biasa saja menerima uang pecahan 1.000 CHF. Jika di Amerika Serikat banyak ditemukan promosi: Buy now. You pay 6 months: later. Promosi tersebut tidak akan laku di Swiss. Mereka berprinsip, kalau tidak punya uang, ya tidak belanja. Oleh karena itu, tingkat saving (tabungan) warga Swiss sangat tinggi.
Orang Swiss tidak suka menjadi bangsa pengutang seperti negara-negara tetangganya. Mereka tahu konsekuensi besar pasak daripada tiang, besar belanja daripada pendapatan. Contoh nyata sekarang dialami warga Yunani, Italia, Portugal, Irlandia, Eslandia, dan beberapa kawasan Euro lainnya yang sedang mengalami krisis moneter.
Seorang kenalan saya, Hans Gimmi, yang bekerja sebagai presiden direktur sebuah bank pernah ”ngrasani’’ tetangganya negara-negara Eropa di kawasan Mediterania, seperti Yunani atau Italia yang lebih suka berpesta daripada bekerja. ”Mereka senang berpesta, tetapi tidak bekerja keras. Menabung pun enggan. Hasilnya kita lihat nyata, mereka mengalami krisis ekonomi yang berat,’’ kata Hans beberapa waktu lalu.
Singkatnya, orang Swiss suka bekerja keras, hemat, tidak suka berutang, dan lebih suka membeli barang produksi bangsa sendiri daripada barang impor. Kalaupun terpaksa beli impor, hal itu disebabkan barang yang dibutuhkan tidak bisa diproduksi di negaranya. Misalnya, udang. Iklim di Swiss tidak cocok untuk mengembangkan udang. Jadi, mereka beli dari Vietnam, Thailand, dan negara lainnya. Atau bisa saja mereka membeli bahan mentah yang lalu diolah menjadi produk yang jauh lebih mahal.
Contoh nyata kopi dan biji cokelat. Dua komoditas itu tidak bisa tumbuh di Swiss yang dingin. Maka, mereka membeli dari Indonesia dalam bentuk bahan mentah. Lalu, biji kopi dan cokelat tersebut mereka olah menjadi produk akhir seperti Nescafe, Nespresso untuk kopi serta Kit Kat, Lindt, Marche, Toblerone, dan lain-lain merek produk cokelat yang harganya jauh lebih mahal.
Selain sangat hemat, kerja keras, dan produktif, orang Swiss tidak suka pamer kekayaan. Meski kaya raya, sangat sulit menemukan perbedaan gaya hidup yang mencolok di Swiss. Di Amerika Serikat, kelompok superkaya seperti Bill Gates, Warren Buffet, George Soros, dan sebagainya umumnya akan tinggal di mansion atau rumah mewah yang sangat luas lengkap dengan ranch dan landasan helikopter. Perbedaan itu tidak saya temukan di Swiss.
Bahkan, tahun lalu ketika menyertai kunjungan Presiden Swiss Doris Leuthard ke Surabaya, saya satu pesawat dengan para eksekutif top perusahaan Swiss yang rela berimpitan di kelas ekonomi pesawat Garuda dari Jakarta ke Juanda. Padahal, para bos itu secara pribadi bisa membeli pesawat jet pribadi. Tetapi, ke mana- mana tetap biasa saja naik pesawat komersial, bahkan tidak mempermasalahkan di kelas ekonomi.
Kalaupun orang-orang kaya itu menikmati kekayaannya, itu hanya bisa dilihat dari mobil yang dikendarainya. Misalnya, naik Mercy, BMW, Ferrari, Maserati, dan sebagainya. Tetapi, itu juga tidak terlalu mencolok karena yang naik Mercy, BMW, atau Ferari di Swiss sangat banyak. Jadi, wajar saja, tidak menjadi kecemburuan sosial.
Konsep pemerataan dan keadilan sosial di Swiss tidak dilakukan dengan menjadikan semua orang mempunyai atau memakai barang yang sama seperti dulu di negara-negara komunis. Konsep adil di sini ialah baik orang kaya maupun miskin bisa menikmati fasilitas sama yang disediakan negara. Dengan kata lain, jika orang kaya bisa nyaman bepergian dengan BMW, orang biasa bisa tetap nyaman dengan naik KA atau bus umum. Begitu juga jika jatuh sakit, pelayanan untuk si miskin dan kaya sama saja. Yang membedakan biasanya kamarnya saja. Misal, orang kaya bisa menyewa kamar private sendirian, sedangkan warga biasa bisa berbagi satu kamar berdua atau bertiga. Tetapi, kualitas dokter, perawat, obat, dan lainnya sama saja. Pelayanan itu juga berlaku untuk orang asing, termasuk kepada saya atau staf saya, ketika mereka harus mengalami rawat inap di rumah sakit.
Menurut kawan-kawan saya yang asli Swiss, mengapa mereka bisa membangun sistem yang cukup egaliter itu? Salah satu kuncinya ternyata ialah membangun trust atau kepercayaan. Sejak kecil, seorang warga Swiss sudah diajari kesadaran bahwa seseorang itu bagian dari masyarakat yang luas.
Semua orang harus menyumbang kepada masyarakat sesuai dengan kemampuannya. Setiap orang harus percaya dan dipercaya oleh orang lain. Basis dari semua sistem itu ialah gemeinde atau kelurahan. Jika seseorang sudah kehilangan kepercayaan di tingkat kelurahan, jangan harap dia akan diterima oleh masyarakat di tempat lain. Itu sebabnya, kriminalitas di Swiss juga rendah. Sebab, di sini berlaku peribahasa: Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya. Artinya, sekali Anda berbuat salah, Anda akan masuk daftar hitam masyarakat sampai Anda benar-benar bertobat.
Rendahnya kriminalitas di Swiss itu menarik sosiolog Amerika Serikat bernama Marshall B. Clinard yang menulis buku: Cities with Litlle Crime: The case of Switzerland. Kalaupun ada copet atau pencurian, hampir bisa dipastikan mayoritas pelakunya adalah non-Swiss. Polisi Swiss benar-benar menganggur karena jarang terjadi curas, curat, atau aneka kejahatan lainnya. Paling banter, polisi Swiss menangani pelanggaran lalu lintas yang masih terjadi di jalan tol, umumnya karena ngebut.
Salah seorang kawan Indonesia sambil bergurau mengatakan, salah satu impiannya ialah bekerja di Swiss sebagai polisi: gaji besar, fasilitas lengkap, tetapi tidak banyak pekerjaannya. Hal itu pun terkait dengan kami. Biasanya, setiap KBRI atau wisma Indonesia dilengkapi sistem keamanan canggih dan lengkap, dan bahkan di sebuah negara Afrika ditambah anjing herder sebagai bagian dari pengamanan. Tetapi, di Swiss tidak perlu CCTV, penjaga, apalagi anjing. Semua aman saja. Swiss memang sebuah negara kecil, tetapi aman, makmur, dan sejahtera. Semoga kita bisa menirunya. (*)
visit it :